Derita Tenaga Kerja
Indonesia
BNP2TKI,
Jakarta (22/9), Astina Triutami TKI yang pernah bekerja di Hongkong selama
1 tahun, menjadi korban dari perlakuan majikan yang buruk terhadap pekerja
perempuan di negeri itu. Astina merekam dengan detail berbagai kejadian yang
dialaminya.mulai alat makannya yang dipisah dengan majikan, Dia hanya
diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau
sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,”
ujarnya dengan nada tinggi.
Dia memilih Hongkong dengan sedikit
pengetahuan bahwa Hongkong adalah negara yang disiplin dan bersih. Di dalam
kontrak kerjanya tertulis, pekerjaan yang Astina lakoni adalah take care of
baby atau menjaga sebuah rumah dengan dua kamar, satu kamar mandi dan melakukan
pekerjaan rumah pada umumnya.
Faktanya, dia tidak menjaga bayi.
"Memang ada bayi, tetapi bayi anjing," kata Astina. Rumah yang dia
urus pun bukah hanya satu melainkan dua dan terletak di lantai 18 dan 33 pada
sebuah apartemen. Tidak hanya itu, ia harus menyiapkan aneka bahan untuk dibawa
ke cafe kecil sang majikan.
Pengalaman menjadi TKI dengan aneka
pengalaman yang ia catat dengan cermat di block note dan di alam pikirannya
menjadi bahan utama novelnya ,"Aku Bukan Budak" yang diterbitkan oleh
Penerbit LIBRI Jakarta (2011).
Sejumlah tokoh, mulai dari Kepala
BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, Arswendo Atmowiloto (sastrawan dan budayawan),
Wahyu Susilo (Analis Kebijakan Migrant Care), dan Jacob Sumardjo (akademisi dan
budayawan) hadir memberi dukungan dan support terhadap karya pertamanya yang
digelar dalam bentuk Seminar Nasional dan Peluncuran Buku “Aku Bukan Budak”
karya Astina Triutami yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/9).
Astina, TKI tamatan SMP ini nekat
menjadi TKI untuk memperjuangakan kelangsungan kehidupan adik-adiknya, setelah
ayahnya wafat dan ibunya kawin lagi. Melalui PT Rajasa Intama, tahun 2009,
Astina tercatat resmi menjadi TKI PLRT dengan tujuan ke Hongkong.
Gadis yang hidup antara Bandung dan
Probolinggo ini memutuskan meninggalkan Tanah Air untuk menyambung hidup di
Hongkong. Namun kenyataannya ia harus menerima perlakuan yang buruk, sejak di
Balai Latihan Kerja sampai cap “babu” yang diterimanya di Hongkong.
Kisah nyata Astina lahir dari
pengalaman ketika ia menjadi saksi bagaimana negeri ini masih belum mampu
memperjuangkan nasib putra-putrinya yang akan dan sedang berjuang sebagai
“pahlawan devisa” di negeri orang.
Novel ini merupakan cerminan
pengakuan blak-blakan dari seorang perempuan yang mencita-citakan suatu Indonesia yang
bukan lagi sebagai “negeri budak”. Indonesia yang lebih membela nasib para
buruh migran, baik yang akan dan sedang berjuang demi memperbaiki nasib
keluarga dan membela kehormatan bangsa.
Astini, penderitaan adalah ladang
yang subur bagi penulis. "Saya belajar dari perjalanan saya sendiri, dari
apa yang saya alami. Dan belajar dari kenyataan bahwa saya yang orang kelas
bawah ini tidak cukup memiliki volume untuk bersuara atau menyuarakan
suara-suara selain melalui tulisan.
Astina merasa cukup setahun menjadi
TKI. Pada 30 November 2010 ia pulang dengan pengalaman yang ia sebut luar
biasa. Informasi-informasi otentik per TKI-an, sebuah notebook modal
menulis. Ia juga membawa pulang uang sebesar Rp4.000.000. Uang ini menjadi
modal bekalnya memulai hidup di Jakarta.
"Saya begadang malam-malam
selama 6 bulan untuk menyelesaikan buku pertama ini," kata dia.
Dari hasil jerih payahnya selama
bekerja di Hongkong, Astina sudah bisa membantu pendidikan adik-adiknya. Rizal
kini kuliah di Universitas Terbuka dan Annisa Amaratu Sholeha masih duduk di
kelas IV SD.
Novel pengalaman hidupnya ini
ditulis sebagai janji kepada teman-temannya di Hongkong.Melalui menulis, ia
ingin memperjuangkan nasib TKI baik yang belum berangkat maupun yang sudah
bekerja di luar negeri. “Saya ingin menjadi Multatuli bagi TKI,” tegasnya
seraya menyuarakan pentingnya pemerintah Indonesia segera me-Rratifikasi
Konvensi Buruh Migran yang hingga detik ini belum juga memiliki titik terang.
Dari karyanya ini, Astini berhasrat
untuk terus menuliskan kisah-kisah TKI dalam bentuk cerita-cerita pendek.Astini
kini sedang melanjutkan pendidikannya di Yayasan Pendidikan Budaya Indonesia
(Program Paket C) agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. “Rencananya, saya ingin melanjutkan ke Sekolah Tinggi Filsafart (STF)
Driyarkara di Salemba, Jakarta Pusat” tutur Astina.
Kini ia bergabung dalam Paguyuban
Perempuan Berbagi, yang memiliki perhatian dan sikap yang menentang
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Saat ini, ia ikut pula terlibat
dalamTim Penulisan Biografi Gubernur DKI Jakarta dari masa ke masa
(Suwiryo-Fauzi Bowo).
Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat
mengatakan, terbitnya buku Astina ini menunjukkan bukti masih adanya
karya-karya TKI yang diberikan kepada bangsa dan negara. “Saya bangga dengan
karya Astina,” ujar Jumhur. Mengutip isi buku, Kepala BNP2TKI menjelaskan bahwa
ketika pulang ke Indonesia, Astini dari Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI
Selapajang diantar oleh angkutan BNP2TKI. Ketika sampai di rumah, supir yang
mengantar meminta tips namun Astinia dengan tegas menjawab agar sang supir
meminta uang itu kepada Pak Jumhur.
Dia mengakui, meski Astina
bekerja sebagai pekerja rumah tangga, namun dia memiliki mentalitas civil
societyyang kuat. Karena itu, dia secara sadar berhenti dari pekerjaannya di Hongkong
karena hal itu bertentangan dengan hak dan kewajiban yang sudah diatur dalam
perjanjian kerja. (Zul)
Analisa
a.
Penderitaan
Pada cerita kisah TKI diatas salah
satunya adalah Astina Triutami TKI yang pernah bekerja di Hongkong selama
1 tahun, menjadi korban dari perlakuan majikan yang buruk terhadap pekerja
perempuan di negeri itu. Astina merekam dengan detail berbagai kejadian yang
dialaminya.mulai alat makannya yang dipisah dengan majikan, Dia hanya
diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau
sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,”
ujarnya dengan nada tinggi.
b.
Siksaan
Dia hanya
diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau
sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,”
ujarnya dengan nada tinggi.
c.
Kekalutan Mental
Astini,
penderitaan adalah ladang yang subur bagi penulis. "Saya belajar dari
perjalanan saya sendiri, dari apa yang saya alami. Dan belajar dari kenyataan
bahwa saya yang orang kelas bawah ini tidak cukup memiliki volume untuk
bersuara atau menyuarakan suara-suara selain melalui tulisan.
Astina merasa cukup setahun menjadi
TKI. Pada 30 November 2010 ia pulang dengan pengalaman yang ia sebut luar
biasa. Informasi-informasi otentik per TKI-an, sebuah notebook modal
menulis. Ia juga membawa pulang uang sebesar Rp4.000.000. Uang ini menjadi
modal bekalnya memulai hidup di Jakarta.
d.
Penderitaan dan Perjuangan
Astina, TKI
tamatan SMP ini nekat menjadi TKI untuk memperjuangakan kelangsungan kehidupan
adik-adiknya, setelah ayahnya wafat dan ibunya kawin lagi. Melalui PT Rajasa
Intama, tahun 2009, Astina tercatat resmi menjadi TKI PLRT dengan tujuan ke
Hongkong.
Gadis yang hidup antara Bandung dan
Probolinggo ini memutuskan meninggalkan Tanah Air untuk menyambung hidup di
Hongkong. Namun kenyataannya ia harus menerima perlakuan yang buruk, sejak di
Balai Latihan Kerja sampai cap “babu” yang diterimanya di Hongkong.
Kisah nyata Astina lahir dari
pengalaman ketika ia menjadi saksi bagaimana negeri ini masih belum mampu
memperjuangkan nasib putra-putrinya yang akan dan sedang berjuang sebagai
“pahlawan devisa” di negeri orang.
NAMA
: Nico Tri Ganda Limbong
NPM
: 1A113149
KELAS
: 4KA38