Cari Blog Ini

Rabu, 30 April 2014

ANALISA CERITA PENDERITAAN



Derita Tenaga Kerja Indonesia

BNP2TKI, Jakarta (22/9), Astina Triutami TKI yang pernah bekerja di Hongkong selama 1 tahun, menjadi korban dari perlakuan majikan yang buruk terhadap pekerja perempuan di negeri itu. Astina merekam dengan detail berbagai kejadian yang dialaminya.mulai alat makannya yang dipisah dengan majikan, Dia hanya diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,” ujarnya dengan nada tinggi.
Dia memilih Hongkong dengan sedikit pengetahuan bahwa Hongkong adalah negara yang disiplin dan bersih. Di dalam kontrak kerjanya tertulis, pekerjaan yang Astina lakoni adalah take care of baby atau menjaga sebuah rumah dengan dua kamar, satu kamar mandi dan melakukan pekerjaan rumah pada umumnya.
Faktanya, dia tidak menjaga bayi. "Memang ada bayi, tetapi bayi anjing," kata Astina. Rumah yang dia urus pun bukah hanya satu melainkan dua dan terletak di lantai 18 dan 33 pada sebuah apartemen. Tidak hanya itu, ia harus menyiapkan aneka bahan untuk dibawa ke cafe kecil sang majikan.
Pengalaman menjadi TKI dengan aneka pengalaman yang ia catat dengan cermat di block note dan di alam pikirannya menjadi bahan utama novelnya ,"Aku Bukan Budak" yang diterbitkan oleh Penerbit LIBRI Jakarta (2011).
Sejumlah tokoh, mulai dari Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, Arswendo Atmowiloto (sastrawan dan budayawan), Wahyu Susilo (Analis Kebijakan Migrant Care), dan Jacob Sumardjo (akademisi dan budayawan) hadir memberi dukungan dan support terhadap karya pertamanya yang digelar dalam bentuk Seminar Nasional dan Peluncuran Buku “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/9).
Astina, TKI tamatan SMP ini nekat menjadi TKI untuk memperjuangakan kelangsungan kehidupan adik-adiknya, setelah ayahnya wafat dan ibunya kawin lagi. Melalui PT Rajasa Intama, tahun 2009, Astina tercatat resmi menjadi TKI PLRT dengan tujuan ke Hongkong.
Gadis yang hidup antara Bandung dan Probolinggo ini memutuskan meninggalkan Tanah Air untuk menyambung hidup di Hongkong. Namun kenyataannya ia harus menerima perlakuan yang buruk, sejak di Balai Latihan Kerja sampai cap “babu” yang diterimanya di Hongkong.
Kisah nyata Astina lahir dari pengalaman ketika ia menjadi saksi bagaimana negeri ini masih belum mampu memperjuangkan nasib putra-putrinya yang akan dan sedang berjuang sebagai “pahlawan devisa” di negeri orang.
Novel ini merupakan cerminan pengakuan blak-blakan dari seorang perempuan yang mencita-citakan suatu Indonesia yang bukan lagi sebagai “negeri budak”. Indonesia yang lebih membela nasib para buruh migran, baik yang akan dan sedang berjuang demi memperbaiki nasib keluarga dan membela kehormatan bangsa.
Astini, penderitaan adalah ladang yang subur bagi penulis. "Saya belajar dari perjalanan saya sendiri, dari apa yang saya alami. Dan belajar dari kenyataan bahwa saya yang orang kelas bawah ini tidak cukup memiliki volume untuk bersuara atau menyuarakan suara-suara selain melalui tulisan.
Astina merasa cukup setahun menjadi TKI. Pada 30 November 2010 ia pulang dengan pengalaman yang ia sebut luar biasa. Informasi-informasi otentik per TKI-an, sebuah notebook modal menulis. Ia juga membawa pulang uang sebesar Rp4.000.000. Uang ini menjadi modal bekalnya memulai hidup di Jakarta.
"Saya begadang malam-malam selama 6 bulan untuk menyelesaikan buku pertama ini," kata dia.
Dari hasil jerih payahnya selama bekerja di Hongkong, Astina sudah bisa membantu pendidikan adik-adiknya. Rizal kini kuliah di Universitas Terbuka dan Annisa Amaratu Sholeha masih duduk di kelas IV SD.
Novel pengalaman hidupnya ini ditulis sebagai janji kepada teman-temannya di Hongkong.Melalui menulis, ia ingin memperjuangkan nasib TKI baik yang belum berangkat maupun yang sudah bekerja di luar negeri. “Saya ingin menjadi Multatuli bagi TKI,” tegasnya seraya menyuarakan pentingnya pemerintah Indonesia segera me-Rratifikasi Konvensi Buruh Migran yang hingga detik ini belum juga memiliki titik terang.
Dari karyanya ini, Astini berhasrat untuk terus menuliskan kisah-kisah TKI dalam bentuk cerita-cerita pendek.Astini kini sedang melanjutkan pendidikannya di Yayasan Pendidikan Budaya Indonesia (Program Paket C) agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. “Rencananya, saya ingin melanjutkan ke Sekolah Tinggi Filsafart (STF) Driyarkara di Salemba, Jakarta Pusat” tutur Astina.
Kini ia bergabung dalam Paguyuban Perempuan Berbagi, yang memiliki perhatian dan sikap yang menentang diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Saat ini, ia ikut pula terlibat dalamTim Penulisan Biografi Gubernur DKI Jakarta dari masa ke masa (Suwiryo-Fauzi Bowo).
Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat mengatakan, terbitnya buku Astina ini menunjukkan bukti masih adanya karya-karya TKI yang diberikan kepada bangsa dan negara. “Saya bangga dengan karya Astina,” ujar Jumhur. Mengutip isi buku, Kepala BNP2TKI menjelaskan bahwa ketika pulang ke Indonesia, Astini dari Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI Selapajang diantar oleh angkutan BNP2TKI. Ketika sampai di rumah, supir yang mengantar meminta tips namun Astinia dengan tegas menjawab agar sang supir meminta uang itu kepada Pak Jumhur.
Dia mengakui, meski Astina bekerja sebagai pekerja rumah tangga, namun dia memiliki mentalitas civil societyyang kuat. Karena itu, dia secara sadar berhenti dari pekerjaannya di Hongkong karena hal itu bertentangan dengan hak dan kewajiban yang sudah diatur dalam perjanjian kerja. (Zul)

Analisa

a. Penderitaan

Pada cerita kisah TKI diatas salah satunya adalah Astina Triutami TKI yang pernah bekerja di Hongkong selama 1 tahun, menjadi korban dari perlakuan majikan yang buruk terhadap pekerja perempuan di negeri itu. Astina merekam dengan detail berbagai kejadian yang dialaminya.mulai alat makannya yang dipisah dengan majikan, Dia hanya diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,” ujarnya dengan nada tinggi.

b. Siksaan

Dia hanya diperbolehkan keramas seminggu sekali. Dan yang tak kalah menyakitkan, kalau sang majikan menunjuk sesuatu, ia selalu menggunakan kaki. “Ini kan menghina,” ujarnya dengan nada tinggi.

c. Kekalutan Mental

Astini, penderitaan adalah ladang yang subur bagi penulis. "Saya belajar dari perjalanan saya sendiri, dari apa yang saya alami. Dan belajar dari kenyataan bahwa saya yang orang kelas bawah ini tidak cukup memiliki volume untuk bersuara atau menyuarakan suara-suara selain melalui tulisan.
Astina merasa cukup setahun menjadi TKI. Pada 30 November 2010 ia pulang dengan pengalaman yang ia sebut luar biasa. Informasi-informasi otentik per TKI-an, sebuah notebook modal menulis. Ia juga membawa pulang uang sebesar Rp4.000.000. Uang ini menjadi modal bekalnya memulai hidup di Jakarta.

d. Penderitaan dan Perjuangan

Astina, TKI tamatan SMP ini nekat menjadi TKI untuk memperjuangakan kelangsungan kehidupan adik-adiknya, setelah ayahnya wafat dan ibunya kawin lagi. Melalui PT Rajasa Intama, tahun 2009, Astina tercatat resmi menjadi TKI PLRT dengan tujuan ke Hongkong.
Gadis yang hidup antara Bandung dan Probolinggo ini memutuskan meninggalkan Tanah Air untuk menyambung hidup di Hongkong. Namun kenyataannya ia harus menerima perlakuan yang buruk, sejak di Balai Latihan Kerja sampai cap “babu” yang diterimanya di Hongkong.
Kisah nyata Astina lahir dari pengalaman ketika ia menjadi saksi bagaimana negeri ini masih belum mampu memperjuangkan nasib putra-putrinya yang akan dan sedang berjuang sebagai “pahlawan devisa” di negeri orang.


NAMA    : Nico Tri Ganda Limbong
NPM      : 1A113149
KELAS   :  4KA38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar